Beranda | Artikel
Penjelasan Hadits Adab dan Akhlaq Bulughul Maram: (3) Enam Hak Sesama Muslim
Jumat, 7 April 2017

BAB 1 ADAB

MUQADIMAH

Pembaca yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kitābul Jāmi’ adalah bagian dari kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām yang ditulis oleh Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh. Beliau  rahimahullāh meletakkan kitab ini di bagian akhir dari Buluughul Maraam min Adillatil Ahkaam.

Sebagaimana kita ketahui bahwa Kitab Bulūghul Marām min Adillatil Ahkām adalah kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Nabi  tentang fiqih, mulai dari Bab Thaharah, Bab Shalat, Bab Haji, Bab Zakat, Bab Jihad, dan seterusnya.

Namun, yang menakjubkan dari Al-Haafizh Ibnu Hajar adalah, beliau meletakkan Kitābul Jāmi’ di ujung Kitab Bulūghul Marām. Padahal, Kitābul Jāmi’ ini tidak ada hubungannya dengan masalah fiqih, tetapi lebih cenderung berhubungan dengan masalah adab dan akhlak, yaitu tentang akhlak yang baik yang harus dibiasakan, tentang akhlak yang buruk yang harus dijauhi, serta tentang dzikir dan do’a.

Wallaahu a’lam, seakan-akan Al-Haafizh Ibnu Hajar ingin mengingatkan kepada segenap pembaca kitab Bulughul Maram, bahwasanya jika seorang telah menguasai bab-bab ilmu, telah menguasai masalah-masalah fiqih, maka hendaknya dia beradab dan memiliki akhlak yang mulia. Karena bisa jadi ilmu yang luas dapat menjadikan pemiliknya terjerumus dalam kesombongan dan merendahkan orang lain. Sebagaimana harta yang banyak juga bisa menjerumuskan dalam kesombongan. Sebagaimana pula nasab yang tinggi, rumah yang mewah, postur tubuh yang sempurna, paras yang tampan dan cantik,  bisa menjerumuskan  pemiliknya ke dalam kesombongan.

Maka demikian pula ilmu yang banyak –jika tidak disertai dengan keikhlasan dalam menuntutnya dan mengamalkannya- juga berpotensi besar menjerumuskan seseorang dalam keangkuhan dan kesombongan. Bahkan tidak jarang kita jumpai sebagian penuntut ilmu pemula yang masih cetek ilmunya sudah mulai tumbuh bibit keangkuhan dan kesombongan yang ditunjukkan dalam ungkapan-ungkapan lisannya atau tulisan-tulisannya. Ilmu yang seharusnya menjadikan seseorang beradab dan berakhlak bisa menjadi senjata makan tuan yang menambahkan kesombongan apabila tidak dibarengi dengan niat yang benar dan tujuan yang tulus dalam menuntutnya.

Karenanya, di akhir kitab hadits-hadits fikih Bulūghul Marām yang disusunnya, Al-Haafizh Ibnu Hajar meletakkan sebuah kitab tentang adab dan akhlak yang beliau namai Kitābul Jāmi’.

Al-jaami’ dalam bahasa Arab artinya “yang mengumpulkan” atau “yang mencakup”. Dikatakan Kitābul Jāmi’ karena kitab ini mencakup 6 bab yang berkaitan dengan akhlak, yaitu sebagai berikut.

Bab Pertama – Baabul Adab.

Bab Kedua – Baabul Birr wash Shilah, yaitu bab tentang bagaimana berbuat baik dan bagaimana bersilaturahim.

Bab Ketiga – Baabul Zuhud wal Wara’, tentang zuhud dan sifat wara’.

Bab Keempat – Baabut Tarhiib min Masaawil Akhlaaq, bab tentang yang memperingatkan tentang akhlaq-akhlaq yang buruk.

Bab Kelima – Baabut Targhib min Makaarimul Akhlaaq, yaitu bab tentang motivasi untuk memiliki akhlak yang mulia.

Bab Keenam – Baabudz Dzikir wad Du’ā, yaitu bab tentang dzikir dan do’a.

Pada bab ini, Insya Allah akan dibahas bab pertama dari enam bab di atas, yaitu Baabul Adab (bab tentang adab).  Bab ini mencakup hadits-hadits yang menjelaskan tentang adab-adab di dalam Islam yang seorang muslim hendaknya berhias dengan akhlak (perangai-perangai) yang mulia tersebut.

Hadits 1
Hak Sesama Muslim

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قال رَسُولُ اَللهِ صلى الله عليه وسلم : حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ

Dari Abu Hurairah , ia berkata, Rasūlullāh  bersabda, “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim itu ada enam:  (1) Jika kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam, (2) Jika ia mengundangmu maka penuhilah undangannya, (3) Jika ia meminta nasihat kepadamu maka berilah ia nasihat, (4) Jika ia bersin dan mengucapkan ‘Alhamdulillah’ maka do‘akanlah ia dengan mengucapkan ‘Yarhamukallah’, (5) Jika ia sakit maka jenguklah dan (6) Jika ia meninggal dunia maka iringilah jenazahnya.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya)

Pembaca yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Disebutkan di dalam hadis ini bahwa Rasūlullāh  bersabda, “Hak muslim terhadap muslim yang lain”.

Ungkapan ini bersifat umum, mencakup setiap individu muslim, baik muslim yang baik keislamannya, maupun muslim yang kurang baik dalam berislam. Baik muslim yang senantiasa menjauhi dosa-dosa maupun muslim yang banyak terjatuh pada dosa-dosa meskipun dosa besar, selama dosa besar tersebut bukan kekufuran yang mengeluarkannya dari Islam. Selama ia masih seorang muslim, maka ia berhak mendapatkan haknya sebagai seorang muslim. Inilah hukum asalnya.

Akan tetapi hak yang merupakan hukum asal tersebut dapat gugur (dapat tidak dipenuhi) jika ada penghalang. Misalnya seorang muslim mengundang muslim lainnya untuk menghadiri acara walimah pernikahannya. Namun, karena di dalam acara walimah tersebut banyak ditemui hal-hal yang berbau maksiat, maka muslim yang diundang tersebut tidak memenuhi undangan itu. Hukum asal mendatangi undangan yang semula wajib sebagai bentuk pemenuhan hak terhadap sesama muslim menjadi gugur karena adanya kemaksiatan dalam acara tersebut.  Dengan demikian, tidak lagi wajib untuk memenuhi undangan seperti ini –sebagaimana akan datang penjelasannya-.

Sabda Nabi  “Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam”. Bilangan enam yang disebutkan di sini bukan merupakan suatu pembatasan. Artinya, bilangan enam di sini disebutkan oleh Rasulullah   bukan untuk menafikan adanya hak-hak yang lain. Dengan kata lain, bukan berarti tidak ada hak-hak lain antara sesama muslim selain enam yang akan disebutkan.

Di kalangan ahlul ‘ilmi (ulama) dikenal istilah al-‘adad laysa lahu mafhuum. Maknanya, bilangan yang tidak ada mafhum mukhalafah-nya. Jadi, penyebutan bilangan enam dalam hadits  ini hanya sekedar menunjukkan perhatian Nabi  terhadap enam perkara tersebut dan bukan berarti tidak ada hak-hak yang lainnya.

Adapun yang dimaksud hak di sini adalah perkara yang laa yanbaghi tarkuhu, artinya, yang semestinya tidak ditinggalkan. Bisa jadi hak yang dimaksud adalah perkara yang wajib, bisa jadi  pula perkara mustahab yang sangat ditekankan sehingga mirip dengan perkara-perkara wajib yang ditekankan oleh syari’at (lihat Subulus Salaam 2/611).

Hak yang pertama, sabda Nabi

إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ

jika engkau bertemu seorang muslim maka berilah salam kepadanya.

Memberi salam merupakan salah satu di antara amalan yang sangat mulia.

Nabi  bersabda,

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga kecuali kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian tentang suatu perkara jika kalian melakukannya maka kalian akan saling mencintai?  Yaitu sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Oleh karenanya, di antara afdhalul ‘amal (amalan yang paling mulia) menurut Nabi  yaitu memberi makan kepada fakir miskin, kemudian memberi salam kepada orang yang kita kenal dan orang yang tidak kita kenal.

Dari Abdullah bin ‘Amr :

أَنَّ رَجُلا سَأَلَ النَّبِىَّ (صلى الله عليه وسلم) أَىُّ الإسْلامِ خَيْرٌ؟ قَالَ: تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلامَ عَلَى مَنْ عرَفْتَ، وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ

Ada seseorang bertanya kepada Nabi “Islam manakah yang terbaik?”. Nabi berkata, “Memberi makan, dan engkau mengucapkan salam kepada orang yang engkau kenal dan yang tidak engkau kenal” (HR Al-Bukhari No. 6236)

Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa di antara tanda-tanda hari kiamat adalah apabila seseorang hanya memberi salam kepada orang yang dikenalnya saja.

Nabi  bersabda,

أَنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ تَسْلِيمَ الْخَاصَّةِ

“Sesungguhnya sebelum hari kiamat ada pemberian salam kepada orang yang khusus (yang dikenal saja).” (HR. Ahmad no. 3.870 dan dishahikan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 647)

Salam merupakan amalan yang indah karena di dalamnya terdapat doa keselamatan kepada sesama muslim. Dengan membiasakan menyebarkan salam, maka akan timbul cinta di antara kaum muslimin. Dengan demikian, ukhuwah Islamiyah semakin kuat.

Setiap muslim berhak untuk mendapatkan ucapan salam meskipun muslim tersebut merupakan ahli maksiat, sebagaimana telah disinggung di depan. Bisa jadi, salam yang kita ucapkan dengan tulus ikhlas kepada muslim yang bermaksiat dapat membuka hatinya untuk segera berbuat kebaikan dan meninggalkan maksiat yang ia lakukan. 

Bayangkan jika seorang yang shalih di zaman kita ini melewati seorang muslim yang ahli maksiat, kemudian ia bermuka masam, berpaling, dan enggan mengucapkan salam. Bisa jadi si pelaku maksiat tersebut akan semakin jengkel dengan orang-orang shalih dan semakin membuatnya tidak tertarik untuk bersegera meninggalkan kemaksiatan dan melaksanakan kebaikan.

Perhatikan kisah menakjubkan yang disebutkan dalam hadits yang bersumber dari Abdullāh bin Salaam  berikut. Beliau  adalah salah seorang Yahudi yang masuk Islam kemudian menjadi sahabat. Beliau berkata,

لَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ جِئْتُ فَلَمَّا تَبَيَّنْتُ وَجْهَهُ عَرَفْتُ أَنَّ وَجْهَهُ لَيْسَ بِوَجْهِ كَذَّابٍ. فَكَانَ أَوَّلُ مَا قَالَ: «أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلَامَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الْأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلام»

“Tatkala Nabi  tiba di kota Madinah, akupun datang (melihatnya). Tatkala aku memperhatikan wajah beliau maka aku tahu bahwasanya wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Maka pertama yang beliau ucapkan, “Wahai manusia (wahai masyarakat), tebarkanlah salam, berilah makanan, sambunglah silaturahim, dan sholat malamlah tatkala orang-orang sedang tidur, niscaya kalian masuk surga dengan penuh keselamatan.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, dan Al-Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 569)

Oleh karenanya, menyebarkan salam bukanlah perkara yang sepele, bahkan merupakan perkara yang sangat diperhatikan oleh Nabi  sejak di awal dakwah beliau di kota Madinah.

Al-Imam Malik meriwayatkan :

أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ كَانَ يَأْتِي عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ فَيَغْدُو مَعَهُ إِلَى السُّوقِ، قَالَ: فَإِذَا غَدَوْنَا إِلَى السُّوقِ، لَمْ يَمُرَّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عَلَى سَقَاطٍ، وَلَا صَاحِبِ بِيعَةٍ، وَلَا مِسْكِينٍ، وَلَا أَحَد إِلَّا سَلَّمَ عَلَيْهِ، قَالَ الطُّفَيْلُ: فَجِئْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَوْمًا فَاسْتَتْبَعَنِي إِلَى السُّوقِ، فَقُلْتُ لَهُ: وَمَا تَصْنَعُ فِي السُّوقِ؟ وَأَنْتَ لَا تَقِفُ عَلَى الْبَيِّعِ، وَلَا تَسْأَلُ عَنِ السِّلَعِ، وَلَا تَسُومُ بِهَا، وَلَا تَجْلِسُ فِي مَجَالِسِ السُّوقِ؟ قَالَ: وَأَقُولُ اجْلِسْ بِنَا هَاهُنَا نَتَحَدَّثُ، قَالَ فَقَالَ لِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: «يَا أَبَا بَطْنٍ – وَكَانَ الطُّفَيْلُ ذَا بَطْنٍ – إِنَّمَا نَغْدُو مِنْ أَجْلِ السَّلَامِ، نُسَلِّمُ عَلَى مَنْ لَقِيَنَا»

Bahwasanya At-Thufail bin Ubayy bin Ka’ab mendatangi Abdullah bin Umar, lalu ia pergi bersama beliau ke pasar. At-Thufail berkata : Maka ketika kami berangkat ke pasar maka tidaklah Abdullah bin Umar melewati seorangpun yang menjual barang-barang yang jelek atau penjual apapun atau seorang miskin atau siapapun juga kecuali beliau memberi salam kepadanya.

At-Thufail berkata : Akupun mendatangi beliau pada suatu hari lalu beliau memintaku untuk mengikuti beliau ke pasar. Lalu aku berkata kepadanya, “Apa yang hendak engkau lakukan di pasar?, sementara engkau tidaklah berhenti di penjual, engkau tidak bertanya tentang harga barang, engkaupun tidak menawar harga barangnya, dan engkaupun tidak duduk di tempat-tempat duduk yang ada di pasar? Kita duduk aja di sini berbincang-bincang”. Maka Ibnu Umar berkata kepadaku, “Wahai Abu Bathn (panggilannya At-Thufail), kita hanyalah ke pasar karena (menyebarkan) salam, kita memberi salam kepada siapa saja yang kita temui” (Al-Muwattho’ 2/961)

▪▪▪

Selanjutnya hak yang kedua dari 6 hak seorang muslim terhadap muslim lainnya.

Nabi  bersabda,

وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ

“Jika dia mengundangmu maka penuhilah undangannya.”

Sebagian ulama berpendapat bahwa undangan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum, mencakup segala undangan, baik undangan makan maupun undangan ke rumahnya (sebagaimana pendapat sebagian ulama Syafi’iyah dan ulama Dzohiriyah).

Namun jumhur ulama (mayoritas ulama) mengatakan yang wajib dipenuhi hanyalah undangan walimah pernikahan. Adapun memenuhi undangan-undangan yang lain maka hukumnya mustahab dan tidak sampai kepada hukum wajib.

Rasulullah  bersabda,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الفُقَرَاءُ، وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah (acara pernikahan), yang hanya diundang orang-orang kaya sementara orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan walimah (pernikahan), maka dia telah bermaksiat kepada Allāh dan Rasul-Nya ..” (HR. Al-Bukhari no. 5.177 dan Muslim no. 1.432)

Hadis di atas menunjukkan bahwa memenuhi undangan walimah pernikahan hukumnya adalah wajib. Hanya saja, para ulama mengatakan jika ternyata ada udzur atau ada kemungkaran dalam walimah tersebut, maka seorang muslim tidak diwajibkan untuk hadir.

Kemungkaran yang dimaksud misalnya dalam walimah tersebut ada ikhtilath (campur-baur antara laki-laki dengan wanita), sementara kita tahu, kebiasaan para wanita di tempat kita jika menghadiri acara walimah, mereka berhias dengan seindah-indahnya dan bersolek dengan secantik-cantiknya. Belum lagi banyak di antara para wanita tersebut yang tidak memakai jilbab, terbuka auratnya, dan lain-lain. Maka dalam kondisi seperti ini, seseorang tidak lagi wajib untuk menghadiri undangan walimah.

Jika kita tahu acara walimah akan  seperti itu, maka kita bisa memilih untuk datang sebelum atau setelah acara walimah guna menyenangkan hati saudara kita yang mengundang.

Apabila kemungkaran dalam walimah tersebut berupa adanya khamr, bir, wine, dan sejenisnya,  maka acara walimah yang seperti itu tidak boleh dihadiri. Atau kita boleh menghadirinya dengan syarat mampu untuk mengingkari kemungkaran tersebut.

Contoh kemungkaran lain yang sering muncul dalam acara walimah misalnya pertunjukan dangdut atau sejenisnya. Di acara walimah, penyanyi dangdut yang diundang seringkali berjoget-joget sampai menampakkan aurat dan keindahan lekuk tubuhnya.Maka, model walimah seperti ini juga tidak wajib dihadiri.

Model walimah lain yang tidak wajib dihadiri adalah walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja, tidak mengundang orang-orang miskin  dan para tetangga di sekitarnya.Model walimah seperti ini termasuk syarruth tho’am (makanan yang terburuk) artinya makanan tersebut tidak ada berkahnya sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah , sehingga kita tidak wajib menghadirinya.

Nabi  bersabda,

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan acara walimah dimana hanya diundang orang-orang kaya, adapun orang-orang miskin ditinggalkan.” (HR. Al-Bukhari no. 5.177 dan Muslim no. 1.432)

Karena walimah yang seperti ini biasanya dibumbui dengan keinginan bermegah-megahan dalam mengadakan acara, sehingga yang diundang hanyalah orang-orang kaya. Padahal yang lebih membutuhkan makanan, apalagi makanan yang lezat adalah orang-orang miskin. Sebagian orang miskin mungkin hanya bisa makan daging kambing setahun sekali, itupun kalau dapat jatah pembagian daging kurban. Adapun orang-orang kaya maka setiap hari mereka memakan makanan yang lezat seperti makanan walimah tersebut atau bahkan lebih enak dari makanan walimah tersebut.

Sebagian para ulama juga menyebutkan bahwa tidak wajib bagi kita untuk menghadiri walimah yang apabila untuk sampai ke acara  walimah tersebut diperlukan safar.  Meskipun demikian, yang perlu diingat  adalah, jika yang mengundang acara walimah tersebut adalah kerabat dekat kita, seperti kakak, adik, paman, sepupu, dan semisalnya, maka sebaiknya kita berusaha menghadirinya. Meskipun dari sisi walimahnya kita tidak wajib hadir, tetapi dari sisi kekeluargaan hal itu dapat menghindarkan kita dari perselisihan keluarga yang dapat berakibat terputusnya silaturahim. Oleh karenanya, kita melihat acara walimah dari sisi walimahnya dan juga dari sisi kerabat. Kalau kerabat maka kita berusaha menghadiri meskipun harus bersafar.

▪▪▪

Yang ketiga, Nabi  bersabda,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْه

“Jika dia minta nasihat kepadamu, maka nashihatilah dia.”

Seseorang disunnahkan untuk menasihati saudaranya. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhumaa berkata,

بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ

“Saya membai’at Nabi  berjanji untuk menegakkan sholat, membayar zakat, dan memberi nasihat bagi setiap muslim.” (HR. Al-Bukhari no. 57 dan Muslim no. 56)

Para ulama menyebutkan bahwa hukum menasihati seorang muslim apabila tanpa diminta adalah sunah. Tetapi jika seorang muslim datang meminta nasihat kepada kita, maka wajib hukumnya bagi kita untuk menasihatiya. Karenanya Nabi  bersabda,

وَإِذَا اسْتَنْصَحَك فَانْصَحْه

“Jika dia minta nasihat kepadamu, maka nashihatilah dia.”

Terkadang seorang muslim yang sedang ditimpa suatu permasalahan datang kepada kita untuk minta nasihat. Maka kalau kita mampu untuk menasihati, hendaknya kita nasihati. Jangan kita pelit dengan nasihat! Kalau kita mampu menasihati dan mampu memberikan pengarahan, berikan arahan berdasarkan pengalaman kita, juga berdasarkan dalil-dalil yang sesuai.

An-Nawawi rahimahullah berkata :

وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَمَعْنَاهُ طَلَبَ مِنْكَ النَّصِيحَةَ فَعَلَيْكَ أَنْ تَنْصَحَهُ وَلَا تُدَاهِنَهُ وَلَا تَغُشَّهُ وَلَا تُمْسِكَ عَنْ بيان النصيحة

“Dan jika ia meminta nasihat kepadamu maka wajib atasmu untuk menasihatinya dan janganlah engkau berbasa-basi, jangan engkau menipu/memperdayai nya, dan janganlah engkau menahan penjelasan nasihat” (Al-Minhaaj Syarah Shahih Muslim 14/143)

Misalnya, seseorang datang pada kita dengan mengatakan, “Akhi, ada orang ingin melamar putri saya, bagaimana menurut antum? Antum kan mengenal orang tersebut.”

Sebagai orang yang mengenal pribadi orang yang ditanyakan, maka kita berusaha menjelaskan bagaimana kebaikan orang tersebut, bagaimana kekurangannya, bagaimana penilaian kita,  dan sebagainya, seakan-akan yang akan dilamar adalah putri kita sendiri.

Ini namanya benar-benar seorang naashih, seorang pemberi nasihat bagi saudara kita. Karena nasihat itu berarti kita ingin memberikan kebaikan atau yang terbaik bagi pihak yang diberi nasehat.

▪▪▪

Yang keempat, Nabi  bersabda,

وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ

“Jika dia bersin, kemudian dia mengucapkan “alhamdulillah” maka jawablah dengan “yarhamukallah.”“

Pembahasan secara detail tentang permasalahan ini akan datang pada hadits-hadits berikutnya.

▪▪▪

Yang kelima, Nabi  bersabda,

وَإِذاَ مَرِضَ فَعُدْهُ

“Jika dia sakit maka jenguklah dia.”

Ini adalah sunnah yang harus kita kerjakan dan hukumnya adalah fardhu kifayah. Artinya, jika salah seorang muslim sakit, tidak semua muslim lainnya harus menjenguk. Akan tetapi jika sebagian muslim sudah menjenguknya, itu sudah mencukupi.

Menjenguk orang sakit memiliki keutamaan yang sangat besar. Nabi  bersabda,

مَنْ عَادَ مَرِيْضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ

“Barangsiapa yang menjenguk orang sakit, maka ia senantiasa berada di jalan menuju surga (atau sedang memetik buah surga) hingga ia kembali.” (HR. Muslim no. 2.568)

Menjenguk saudara yang sakit tidak dibatasi hanya sekali saja. Bahkan jika saudara kita sakitnya lama, kita disunahkan untuk mengunjunginya berulang-ulang. Selama mengunjunginya kita dapat bercengkerama dengan saudara kita yang sakit tersebut,  menghiburnya, menghilangkan kesedihannya, menghilangkan kebosanannya, membawakan oleh-oleh, dan yang paling penting kita mendoakannya agar sakit yang diderita menggugurkan dosa-dosanya dan juga mendoakan agar ia segera diberi kesembuhan.

Meskipun orang yang sakit itu dalam keadaan tidak sadar, misalnya pingsan atau koma, kita tetap disunahkan untuk mengunjunginya. Jika tidak bisa menghiburnya, paling tidak kita bisa mendo’akannya meskipun dia tidak tahu. Allāh tahu kita sudah mengunjunginya. Atau paling tidak setelah dia siuman/tersadar, jika ada yang bercerita kepadanya bahwa saudaranya mengunjunginya, maka hal itu dapat menyenangkan hatinya. Hal itu dapat menunjukkan bahwa saudara-saudara seimannya tetap memperhatikannya sehingga dia tetap bersemangat dan tidak berburuk sangka. Demikian pula keluarganya, tentu akan terhibur jika kita menjenguknya.

Ketika menjenguk saudara yang sedang sakit, kita harus memperhatikan keadaannya. Jika dia tampak lelah dan membutuhkan banyak istirahat serta tidak ingin banyak mengobrol, hendaknya kita mempercepat kunjungan. Hendaknya  kita mendoakannya lalu segera pergi untuk memberikan kesempatan kepadanya beristirahat.

▪▪▪

Yang keenam, Nabi  bersabda,

وَإِذاَ ماَتَ فاتْبَعْهُ

“Jika dia meninggal, maka ikutilah jenazahnya.”

Seorang muslim yang telah meninggal tetap dimuliakan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, sampai-sampai orang yang menyolatkannya akan mendapatkan pahala satu qirath dan orang yang mengikuti jenazahnya sampai mengkafankannya dan menguburkannya akan mendapatkan 2 qirath, yaitu masing-masing qirath-nya besarnya seperti gunung Uhud.

Nabi  bersabda,

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلِّيَ فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَ حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ

“Barangsiapa yang menghadiri janazah hingga menyolatkannya maka baginya pahala seukuran qiroth, dan barangsiapa yang menghadirinya hingga dikuburkan maka baginya pahala dua qiroth.” Ditanyakan kepada Nabi , “Apa itu dua qiroth?” Nabi  berkata, “Seperti dua gunung yang besar.” (HR. Al-Bukhari no. 1.325)

Dalam riwayat yang lain,

مَنْ صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ وَلَمْ يَتْبَعْهاَ فَلَهُ قِيْرَاطٌ فَإِنْ تَبِعَها فله قيراطان… أَصْغَرُهُمَا مِثْلُ أُحُدٍ

“Barangsiapa yang menyolatkan jenazah namun tidak mengantarnya maka baginya pahala qirot, jika ia ikut mengantarnya (hingga dikuburkan) maka baginya pahala dua qiroth … ukuran yang terkecil dari keduanya seperti gunung Uhud.” (HR. Muslim no. 945)

Hadits ini juga menunjukkan keagungan syari’at Islam, di mana Islam memerintahkan seorang muslim untuk menghormati dan mencintai saudaranya meskipun saudaranya telah meninggal dunia.

▪▪▪

Peringatan

Pernyataan Nabi  “Hak seorang muslim terhadap sesama muslim” menunjukkan bahwa hak-hak tersebut pada asalnya tidak berlaku bagi seorang kafir (non muslim). Artinya, seorang kafir tidak berhak untuk diberi salam, tidak berhak untuk dipenuhi undangannya, tidak berhak untuk dikunjungi tatkala sakit, tidak berhak untuk diberi nasihat, tidak berhak untuk dilayati janazahnya. Ini hukum asalnya. Tentu saja ada penjelasannya secara terperinci pada masing-masing hak tersebut.

Adapun memulai salam terhadap non muslim maka Nabi  telah melarangnya, akan tetapi jika mereka memulai memberi salam maka kita menjawab salam mereka (sebagaimana akan datang penjelasannya).

Demikian pula menjenguk orang kafir yang sakit, maka tidak dianjurkan karena hal itu merupakan hak orang muslim.  Akan tetapi jika dalam kunjungan tersebut ada maslahat baik maslahat dunia maupun akhirat seperti maslahat dakwah maka tidak mengapa kita menjenguknya. Terutama apabila orang tersebut adalah tetangga atau kerabat karena kita telah diperintahkan untuk berbuat baik kepada tetangga dan kerabat meskipun ia seorang non muslim. Nabi  juga pernah mengunjungi seorang Yahudi yang sedang sakit dalam rangka mendakwahinya.

Anas bin Malik  mengisahkan,

كَانَ غُلَامٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرِضَ فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَقَالَ لَهُ أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ

Ada seorang pemuda Yahudi yang pernah melayani Nabi , dan ia pun sakit. Lalu Nabi  menjenguknya dan duduk di sisi kepalanya. Lalu Nabi  berkata kepadanya, “Masuklah Islam.” Pemuda tersebut lalu memandang kepada ayahnya yang sedang hadir di sisinya, maka sang ayah berkata, “Taatlah kepada Abul Qosim (yaitu Nabi ).” Maka Ia pun masuk Islam. Lalu Nabi  keluar dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1.356)

Demikian juga Nabi  menjenguk pamannya Abu Thalib yang akan meninggal dunia, Nabi  menyerunya untuk masuk Islam dengan mengucapkan Laa ilaaha illalllahu, akan tetapi pamannya enggan mengucapkannya dan akhirnya meninggal dalam kondisi musyrik.

Demikian pula halnya jika ada orang musyrik atau kafir –bahkan meskipun kerabat dekat- jika meninggal dunia, maka kita tidak disyari’atkan untuk melayat janazahnya, karena sudah terlambat tidak bisa lagi kita dakwahi. Dan dengan melayatnya seakan-akan kita menghormati janazahnya dan memuliakannya serta menunjukan walaa’ (loyalitas) kita kepadanya, padahal hal ini adalah hak jenazah muslim.

Adapun janazah kafir maka akan menuju neraka jahannam dan tidak pantas untuk dihormati atau dimuliakan. Meskipun Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim kerabat non muslim akan tetapi melayat jenazah kafir merupakan bentuk walaa’ (loyalitas) kepada kafir yang akan menuju neraka jahannam, maka hal itu dilarang dalam Islam.

Ketika Abu Thalib, paman Nabi  yang sedemikian banyak jasanya dalam membela Islam, meninggal dalam kondisi musyrik, maka datanglah putranya, yaitu Ali bin Abi Thalib  berkata kepada Nabi,

إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ، فَقَالَ: ” انْطَلِقْ فَوَارِهِ، (وفي رواية : قال علي : لاَ أُوَارِيْهِ، إِنَّهُ مَاتَ مُشْرِكًا، فقال: اِذْهَبْ فَوَارِهِ) … فَانْطَلَقْتُ فَوَارَيْتُهُ

“Sesungguhnya paman Anda sorang tua yang sesat telah meninggal.” Nabi  berkata, “Pergilah dan kuburkanlah.” (Dalam riwayat lain: Ali berkata, “Aku tidak akan menguburkannya, sesungguhnya ia mati dalam kondisi musyrik.” Nabi  berkata, “Pergilah dan kuburkanlah!”) … Ali berkata, “Maka akupun pergi menguburkannya.” (HR. Abu Dawud, An-Nasaa’i, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Sa’ad, dll, dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 161)

Dari hadits ini, para ulama berkesimpulan bahwa jenazah kafir tidak layak dilayati. Namun, jika tidak ada orang kafir lain yang menguburkannya maka seorang muslim boleh menguburkannya, sebagaimana Ali yang tadinya menolak menguburkan ayahnya namun Nabi  tetap menyuruhnya untuk menguburkan ayahnya. Sebagaimana juga Nabi  dan para sahabatnya menguburkan jenazah Abu Jahl dan pembesar-pembesar kuffaar Quraisy tatkala selesai perang Badr.

Namun jika tidak menghadiri jenazah kerabat kafir dikhawatirkan akan menimbulkan mudharat, maka hendaknya seorang muslim melayat keluarga jenazah setelah pemakaman mayat demi meng-hindari kemudharatan sebagaimana pendapat sebagian ulama. Wallahu a’lam.

Demikian pula halnya menghadiri undangan pernikahan orang kafir, maka tidak wajib. Akan tetapi, dianjurkan jika memang ada kemaslahatan dakwah dalam menghadiri walimah tersebut  dengan syarat acara walimah tersebut kosong dari kemungkaran-kemungkaran (dan syarat ini tentu sangat sulit atau hampir tidak bisa dipenuhi dalam acara walimah pernikahan orang-orang kafir di zaman kita sekarang ini) dan juga kosong dari ritual-ritual keagamaan mereka.
▪▪▪

Jakarta, 07-07-1438 H / 04-04-2017
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1749-penjelasan-hadits-adab-akhlaq-bulughul-maram-3-enam-hak-sesama-muslim.html